
Yang Menua Itu Kita
*dd nana
(1)
Tuhan mencipta
dan kita merawatnya
sampai pada tepi
dimana ujung hujan tak lagi
punya bunyi, tak lagi punya cerita
tentang kita yang perlahan menua
dengan uban di kepala dan ingatan berwarna sepia.
Hanya rindu, anak segala kebebasan yang nantinya
berbicara. Tanpa bunyi yang kita akrabi.
Serupa abadi, serupa cinta yang meremaja.
Yang menua itu kita, sayang.
(2)
Hidup itu serupa rokok klobot
dengan bungkus daun yang dikeringkan dan kasap
di jemari tangan. Melumat padatnya tembakau berwarna hitam
kecoklatan yang gemuk di antara jepitan jari.
Sebelum ujungnya dibakar, sebagian merapalkan doa-doa atau mantra. Lainnya lebih banyak memposisikannya sebagai canda.
"Hidup begitu keparat, untuk apa kita tangisi. Tertawalah."
"Hidup itu tepinya abu dan cahaya tak lagi ingin bersenggama dengannya."
Api pun menyala membakar ujung rokok klobot
Gemeretak kulit daun mengingatkanku atas demam masa remaja
saat kita menyatukan bibir dalam pagut yang ragu-ragu
hingga kulit tubuh kita gemeretak sebelum berserak.
Ingatan.
Rokok klobot yang terbakar setengahnya
membuat tenggorokan dan dada menghangat
kata orang-orang, ada racun dalam setiap yang diisap
ada yang akan meminta bayaran dari setiap yang dikerjakan
Hidup, katanya pula, tak ada yang gratisan. Camkan itu.
Tapi, segala yang dibakar dan menghangatkan dada adalah
obat bagi yang terluka. Serupa cinta yang terlalu penuh
di dalam dada dan meminta tungku pembakaran.
Serupa air mata yang dicipta terlalu purba dan dibawa dalam tarikan
nafas setiap manusia. Ada saatnya meminta untuk diluruhkan.
Ingatan demi ingatan
berpacu dengan sisa rokok klobot yang hampir tuntas
dilumut bara api yang kesepian.
Ya, sayang, yang menua itu kita
yang serupa rokok klobot yang ditinggalkan apinya.
"Hidup itu tepinya abu."
(3)
Cinta mencari rindu
Rindu sembunyi pada ketiak orang-orang suci
Malam pun enggan untuk menggodanya.
"Mereka telah menua sebelum berdaging
Mereka yang mengasuh sunyi dan sembunyi
dari gemeretak hangat syahwat."
Cinta putus asa mencari raga
dan akhirnya bertamu di rumahku dengan paras lesunya.
"Izinkan aku menghuni di rindumu, tuan. Aku janjikan kemuliaan yang akan membuatmu diperbincangkan sampai akhir zaman."
Aku terpana dan menerimanya
tapi, yang menua itu ternyata kita, sayang.
Cinta dan rindu akhirnya yang mengekal
sebelum segala cerita ditutup dengan lengking terompet
dari langit.
*hanya penikmat kopi lokal